BAB II
PEMBAHASAN
TUGAS DAN ETIKA MURID
A.
Pengertian Murid
Dalam bahasa
Indonesia, makna siswa, murid, pelajar, dan peserta didik merupakan sinonim.
Semuanya bermakna anak yang sedang berguru (belajar, bersekolah), anak yang
sedang memperoleh pendidikan dasar dari suatu lembaga pendidikan.
Dalam bahasa Arab, term peserta
didik (pelajar) diungkapkan dengan kata-kata tilmidz ( jamaknya talamidz,
talamidzah) dan thalib (jamaknya thullab), yang berarti
mencari sesuatu dengan sungguh-sungguh. Kedua istilah tersebut digunakan untuk
menunjukkan pelajar secara umum. Selain tilmdz dan murid, seseorang yang
sedang menempuh pendidikan diistilahkan juga dengan thalabab, al-‘ilm,
muta’llim, thifl, dan murabba.
Berdasarkan pada pengertian di atas,
dapat dikatakan bahwa anak didik merupakan semua orang yang belajar, baik pada
lembaga pendidikan secara formal maupun lembaga pendidikan non formal.
B.
Karakteristik Murid dalam Perspektif Hadits
Secara fitrah, anak memerlukan
bimbingan dari orang yang lebih dewasa. Hal ini dapat dipahami dari
kebutuhan-kebutuhan dasar yang dimilki oleh setiap orang yang baru lahir, Allah swt berfirman:
بٔطٔونِ أٔمَّهَا تِكُمْ لاَ
تَعْلَمَُوْنَ شَيئًا وَ جَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأَ بْصَارَوَالأَفْئِدَةَ
لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ ْ مِّن ْ أَخْرَجَكُم وَالله
Artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu
dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur.”
Dalam perspektif hadits, peserta didik
mempunyai karakteristik sebagai berikut:
1.
Peserta didik
menjadikan Allah sebagai motivator utama dalam menuntut ilmu.
2.
Senantiasa
mendalami pelajaran secara maksimal, yang ditunjang dengan persiapan dan
kekuatan mental, ekonomi, fisik, dan psikis.
عن أبي هريرة قا ل رسول الله صلى الله عليه وسلم ألمٶمن القوي
خيروأحب الى الله من المٶمن الضيف
Artinya :
“ Dari Abu Hurairah r,a, ia berkata: Rasulullah saw,
telah bersabda: Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah
daripada orang mukmin yang lemah.”
3.
Senantiasa
mengadakan perjalanan (rihlah, comparative study) dan melakukan riset
dalam rangka menuntut ilmu karena ilmu itu tidak hanya pada satu majlis
al-‘ilm, tetapi dapat dilakukan di tempat dan majelis-majelis lain.
4.
Memiliki
tanggung jawab
Artinya :
“ Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah saw,
telah bersabda: Barang siapa yang ditanyai suatu imu pengetahuan, tetapi ia
menyembunyikannya, maka Allah akan menyedikan baginya kekangan dari api neraka
di hari kiamat”.
5.
Ilmu yang
dimilikinya dapat dimanfaatkan
C.
Tugas dan Tanggung Jawab Murid
Tugas dan tanggung jawab
dalam perspektif hadits, sebagai berikut:
1.
Dalam menuntut
ilmu mengutamakan ilmu yang paling besar kemaslahatannya untuk dirinya dan
umat, di dunia dan
di akhirat.
2.
Senantiasa
mengulangi pelajaran-pelajaran karena ia beranggapan bahwa dengan pengulangan
tersebut berarti ia telah melihat betapa luas dan dalamnya ilmu yang dapat
dikaji melalui ayat-ayat Allah, dan karena ia selalu bertasbih.
3.
Mengadakan
riset sebagai tindak lanjut dari proses belajar.
4.
Mengajarkan
kembali ilmu yang telah diperolehnya kepada orang lain.
5.
Ilmu itu
dimanfaatkan untuk kemaslahatan dan kesejahteraan umat.
6.
Ikut menanggung
biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan
dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku.
7.
Mematuhi semua
peraturan yang berlaku.
8.
Ikut memelihara
sarana dan prasarana serta kebersihan, ketertiban, dan keamanan di lingkungan
satuan pendidikan.
D.
Hak-hak Murid
1.
Mempelajari dan
mendapatkan ilmu sesuai dengan tingkat kemampuannya.
2.
Mendapatkan perhatian
dan kasih sayang secara wajar dari gurunya.
3.
Mendapatkan
kesempatan untuk maju dan berkembang seuai denga minat dan bakat yang
dimilikinya.
4.
Mendapatkan
penghargaan atas prestasi yang diraihnya, baik materil maupun non materil.
5.
Mendapatkan
hukuman dan ganjaran yang dilandasi dengan kasih sayang.
6.
Mendapatkan
pengajaran, perhatian, kasih sayang, dan motivasi penuh terutama dari orang
tuanya.
7.
Memperoleh
pendidikan yang tertuju pada pengembangan potensi fisik dan psikisnya.
E.
Etika Murid
1.
Etika Murid Terhadap Dirinya
a.
Berniat ikhlas
karena Allah semata.
Sebelum memulai pelajaran, siswa harus lebih dahulu membersihkan dirinya dari
segala sifat buruk karena belajar itu termasuk ibadah, dan ibadah yang diterima
Allah adalah ibadah yang dilakukan dengan tulus ikhlas. Oleh karena itu,
belajar yang diniatkan bukan karena Allah akan sia-sia. Nabi SAW bersabda:
artinya: “ Sesungguhnya amal perbuatan itu dilandasi atas niat…”
b.
Hendaknya
tujuan pendidikan itu karena takut kepada Allah SWT dan untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda:
تعلموا العلم فأن تعلمه الله خشية٠٠٠٠الخ )(رواه ابن حبان
والمعاذ)
Artinya : “ Pelajarilah ilmu karena sesungguhnya
mempelajarinya karena Allah adalah sebentuk takut kepada-Nya.”
c.
Jangan
meninggalkan suatu mata pelajaran sebelum benar-benar menguasainya.
d.
Bersungguh-sungguh
dan tekun belajar, siang dan malam, dengan terlebih dahulu mencari ilmu yang lebih penting.
e.
Tawaddu’, iffah, sabar, dan tabah, wara’, dan tawakal.
f.
Disiplin dan
selektif memilih lingkungan (pendidikan).
Islam sangat mengutamakan kedisiplinan, terutama
penggunaan waktu, bahkan Allah SWT bersumpah demi masa (waktu). Rasulullah SAW
sendiri mewaspadai betul waktu, sehingga beliau bersabda: “ Pergunakanlah
lima kesempatan sebelum datang lima kesempitan: sehatmu sebelum sakitmu, waktu
lapangmu sebelum waktu sempitmu, masa mudamu sebelum masa tuamu, masa kayamu
sebelum masa miskinmu, dan waktu hidupmu sebelum matimu”. (H.R. Baihaqi)
Kemudian murid juga selektif dalam membentuk lingkungan
pergaulan, karena lingkungan turut membentuk corak pendidikan, perilaku, dan
pola pikir seseorang. Seperti sabda Nabi SAW:
Artinya:” Perumpamaan sahabat yang baik dan sahabat
yang buruk itu bagaikan pembawa misik (kasturi) dan penyulut api. Pembawa
kasturi terkadang memberi kepadamu atau kau membeli dirinya, atau (paling
tidak) kamu mencium bau harumnya. Adapun penyulut api, kalau tidak membakar
pakaianmu, maka kamu mendapat bau baranya”.
2.
Etika Murid Terhadap Gurunya
a
Hendaklah murid
menghormati guru, memuliakan serta mengagungkannya karena Allah, dan berdaya
upaya pula menyenangkan hati guru dengan cara yang baik.
b
Bersikap sopan
di hadapan guru, serta mencintai guru karena Allah.
c
Selektif dalam
bertanya dan tidak berbicara kecuali setelah mendapat izin dari guru.
d
Mengikuti
anjuran dan nasehat guru.
e
Bila berbeda
pendapat dengan guru, berdiskusi atau berdebat lakukanlah dengan cara yang
baik.
f
Jika melakukan
kesalahan, segera mengakuinya dan meminta maaf kepada guru.
g
Hendaknya murid
memilih guru yang tidak hanya betul-betul menguasai bidangnya, tetapi juga
mengamalkan ilmunya dan berpegang teguh kepada agamanya. Sabda Nabi SAW:
لا يٶخذ العلم من ٳلا من أمين ثقة لأن قوام الدين با لعلم
Artinya:
”Tidak boleh menuntut ilmu kecuali dari guru yang amin
dan tsiqah (mempunyai kecerdasan kalbu dan akal) karena kuatnya agam adalah
dengan ilmu”.
Selain itu, Dalam kitab Ilmu wa Adab al-‘Alim wa al- Muta’allim dikatakan
bahwa sikap murid sama dengan sikap guru, yaitu sikap murid sebagi pribadi dan
sikap murid sebagai penuntut ilmu. Sebagai pribadi seorang murid harus bersih
hatinya dari kotoran dan dosa agar dapat dengan mudah dan benar dalam menangkap
pelajaran, menghafal dan mengamalkannya.[2]Hal
ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw:
الا ان في الجسد مضفة ٳذا صلحت صلح سا ئر عمله وٳذا فسدت فسد
سائر عمله الا وهي القلب
“Ingatlah
bahwa dalam jasad terdapat segumpal daging, jika segumpal daging tersebut
sehat, maka sehatlah seluruh perbuatannya, dan jika segumpal daging itu rusak,
maka rusaklah seluruh awalnya. Ingatlah bahwa segumpal daging itu adalah hati.”
Selanjutnya menurut Imam Ghazali, ada
sepuluh kriteria yang harus diupayakan oleh anak didik, diantaranya yaitu:
1.
Sebelum memulai proses belajar, anak
didik harus terlebih dahulu menyucikan jiwa dari perangai buruk dan sifat
tercela.
2.
Semampu mungkin anak didik harus menjauhkan
diri dari ketergantungan terhadap dunia.
3.
Anak didik harus selalu bersikap
rendah hati, memperhatikan instruksi dan arahan pendidik, dan mampu mengontrol
emosinya.
4.
Anak didik harus menghindarkan diri
dari suasana perdebatan yang membingungkan.
5.
Seorang anak didik harus mmpunyai
semangat mempelajari semua ilmu pengetahuan yang layak dipelajari sebagai
konsekuensi adanya keterkaitan antardisiplin ilmu pengetahuan.
6.
Anak didik harus belajar secara
gradual. Ia perlu menentukan skala prioritas ilmu pengetahuan dengan mengacu
kepada manfaatnya, dalam hal ini adalah ilmu agama.
7.
Anak didik harus memahami hirarki
ilmu pengetahuan.
8.
Anak didik harus memahami nilai ilmu
pengetahuan yang dipelajari dan menentukan mana yang lebih utama dari yang
lain.
9.
Anak didik mempunyai orientasi atas
pendidikannya; tujuan jangka pendek, yaitu memperbaiki dan membersihkan
jiwanya; sedangkan orientasi jangka panjang adalah mendekatkan diri pada Allah
swt dan berusaha menaikkan derajatnya setara dengan malaikat.
10. Anak didik harus hati-hati dalam
memilih sosok pendidik demi kelangsungan proses belajar yang positif.[3]
BAB III
KESIMPULAN
1.
Keseluruhan
istilah anak didik dalam perspektif hadits mengacu pada satu pengertian, yaitu
orang yang sedang menuntut ilmu, tanpa membedakan ilmu agama atau ilmu umum.
2.
Karakteristik
peserta didik dalam perspektif hadits adalah: peserta didik menjadikan Allah
sebagai motivator utama dalam menuntut ilmu, mendalami pelajaran secara
maksimal, mengadakan perjalanan (rihlah, comparative study) dan
melakukan riset, bertanggung jawab mengajarkan ilmunya kepada orang lain, dan ilmu
itu harus dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat dan agama.
3.
Tugas dan
tanggung jawab murid adalah: mengutamakan ilmu yang mempunyai kemaslahatan
paling besar untuk agama umat dan kehidupan akhirat, mengulangi pelajaran, ikut
bertanggung jawab pada pendanaan pendidikan jika ia mampu, mematuhi peraturan
yang berlaku, mengutamakan menuntut ilmu dari pada amalan sunat lainnya, dan
lain-lain.
[1] Abuddin,
Nata, Pendidikan Dalam Persepektif Hadits, (Jakarta: UIN Jakarta Press,
20050, Cet. Ke-I, hl.249-260
[2]Abudin, Nata, Persepektif Islam Tentang Pola Hubungan
Guru-Murid, (Jakarta: Rajawali Press, 2001), Cet. Ke-1, hl.102
[3] Asrorun, Ni’am Sholeh, Reorientasi Pendidikan Islam,
(Jakarta: Elsass, 2006), Cet. Ke-3, hl.75-77
Tidak ada komentar:
Posting Komentar